Jumat, 30 Agustus 2013

DO'A PENGIKAT HATI

DO'A PENGIKAT HATI



Allahumma innaka ta'lamu anna hadzihil qulub,
qadijtama-at 'alaa mahabbatik,
wal taqat 'alaa thaa'atik,
wa tawahhadat 'alaa da'watik,
wa ta‘aahadat ‘alaa nashrati syari'atik.
Fa watsiqillaahumma raabithataha,
wa adim wuddahaa,
wahdihaa subuulahaa,
wamla'haa binuurikal ladzii laa yakhbuu,
wasy-syrah shuduuraha bi faidlil imaanibik,
wa jamiilit-tawakkulli 'alaik,
wa ahyihaa bi ma'rifatik,
wa aamit-haa 'alaa syahaadati fii sabiilik...
Innaka ni'mal maula wa ni'man nashiir.

Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya HATI-HATI kami ini,
Sungguh telah berkumpul karena cinta kepada-Mu,
dan berjumpa dalam ketaatan pada-Mu,
dan bersatu dalam dakwah-Mu,
dan berpadu dalam membela syariat-Mu.
Maka ya Allah, kuatkanlah ikatannya,
dan kekalkanlah cintanya,
dan tunjukkanlah jalannya,
dan penuhilah ia dengan cahaya yang tiada redup,
dan lapangkanlah dada-dada dengan fadillah iman yang berlimpah kepada-Mu,
dan indahkan ia dalam tawakkal kepada-Mu,
dan hidupkan ia dengan ma'rifah kepada-Mu,
dan matikan ia dalam syahid di jalan-Mu.
Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.

Aamiin...

Doa ini ditulis Syaikh Hasan Al Banna dalam kitab Majmu'atir Rasail. Saat itu fitnah PERPECAHAN sedang terjadi antar jama'ah Islam dan menghadapi Inggris. Ia menyebutnya DO’A RABITHAH atau DO’A PENGIKAT. Pengikat hati yang sedang dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit. Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat. Landasannya adalah IMAN. Pengikatnya adalah CINTA. CINTA kepada Allah, CINTA kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, CINTA kepada Islam dan CINTA kepada ummat Islam dan manusia seluruhnya, yang merupakan ummat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

CINTA menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka adalah permadani sutera yang empuk, setiap orang dengan tipenya bisa duduk santai di situ. CINTA mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. CINTA melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?

Tapi CINTA juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban Perbedaan diantara mereka tidak akan mengubah situasi mereka, seperti kata Iqbal, sebagai sapu lidi yang diikat cinta untuk membersihkan kehidupan.

Tapi CINTA juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw: “Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku.” Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari memikul beban? Dan CINTA-lah sumbernya.

Energi CINTA memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat.Tapi ikatan CINTA mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat, nyaman, dan abadi walaupun menghadapi berbagai FITNAH KEJI. Jadi biarkan Sang Iman mengumumkan kembali CINTA nya: Maka eratkan ikatannya. Dan abadikan CINTAnya!

Dengan dasar CINTA tersebut dakwah Islam telah berkembang di seluruh negeri dan di ujung bumi, walaupun orang-orang yahudi, nashrani dan munafikin membenci.

KEMANA PERGINYA DO’A?

KEMANA PERGINYA DO’A?


Bismillah ... Jika berharap uang, ternyata yang datang hutang ..
Jika meminta kemudahan, yang hadir justru kesulitan ..
Jika doakan kesehatan, yang hampiri penyakit ..

Jangan kau tanya mengapa Allah tak kabulkan doa ..
Jangan kau paksa kapan Allah ..
akan ijabahkan doa ...

Jangan kau heran mengapa Allah ..
abaikan doa ..

Tapi tanyakan seperti apa tubuhmu bicara ..
tanyakan seperti apa hatimu berkata ...

Apa Subuhmu menjelang dhuha?
Apa Dzuhurmu sisa waktu bisnis yg kau punya?
Apa Ashar-Maghrib mu terlalu dekat waktunya?
Apa Isya mu terlewat karena lelah yg ada?

Jangan salahkan Allah, ..
Jika kau kira bisa bebas berbuat dosa ..
lalu bisa putihkan dengan Umroh tiap tahun adanya ...

Jangan salahkan Allah, ..
Jika ayat suci hanya kau pilih beberapa ..
Surat Yusuf agar mendapatkan putera ganteng nan sholeh, ..
Surat Maryam agar memperoleh puteri nan cantik sholehah, ..
Surat Ar-Rahman agar berlimpah rejeki ...

Dan jangan salahkan Allah, jika ayat-ayatNya tak pernah dibaca ataupun diamalkan dalam kehidupan nyata ...

Jika titah Allah hanyalah beban, ..
Jika ibadah kepada Allah hanyalah dagang ,..
hanya untung dan rugi ….
Jangan harap kecintaanNya akan datang …

Ya Allah …
Jagalah kami dari hal hal yg demikian ... aamiin ..

Kamis, 29 Agustus 2013

7 Dzikir Pembuka Pintu Rezeki

7 Dzikir Pembuka Pintu Rezeki

 (1). Memperbanyak Membaca
“La hawla Wala Quwwata Illa billah “
Barangsiapa yang lambat datangrezekinya hendaklah banyak mengucapkan
“La hawla WalaQuwwata Illa billah( HR. At Tabrani )

(2). Membaca
” La Ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin”Barangsiapa setiap hari membaca
La ilaha illallahul malikul haqqul mubin
maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur
(HR. Abu Nu’aim dan Ad Dailami).

(3). Melanggengkan Ber-Istighfar“Barangsiapa melanggengkanberistighfar niscaya Allah akanmengeluarkan dia dari segala kesusahan dan memberikan rezki dari arah yang tidak diduga-duga”
( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah )

(4). Membaca Surat Al-Ikhlas“Barangsiapa mmbaca Surat Al Ikhlas ketika masuk rumah maka berkah bacaan menghilangkan kefakiran dari penghuni rumah dan tetangganya
( HR. AtTabrani )

(5). Membaca Surat Al-Waqiah“Barangsiapa mmbaca surat AlWaqiah
setiap malam, maka tidak akan
ditimpa kesempitan hidup“(HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab AlIman)

(6). Memperbanyak Shalawat Atas Nabi“Ubay Bin Ka’ab meriwayatkan ,bila telah berlalu sepertiga malam,
RasulullahSalallahu’alaih iwassalam berdiri
seraya bersabda :
“Wahai Manusia Berdzikirlah Mengingat Allah, berdzikirlah mengingat Allah. Akan datang tiupan (sangkakala kiamat) pertama, kemudian diiringi tiupan kedua.Akan datang kematian dan segala kesulitan didalamnya”

(7). Membaca
Subhanallah wabihamdihi
Subhanallahil adziim…dari setiap kalimat itu seorang malaikat yg bertasbih kepadaAllah Ta’ala sampai hari kiamat yang pahala tasbihnya itudiberikan untukmu”

(HR. Al-Mustagfiri dalam Ad-Da’awat)


Rabu, 28 Agustus 2013

MEMAHAMI BID'AH DENGAN HIKMAH





Perbedaan Tentang Batasan Bid'ah

Assalamu'alaikum
Ustadz, saya mau tanya batasan amalan bid'ah.
Mohon penjelasan, karena saya banyak mendengar ada ustadz yang menyatakan semua bid'ah itu sesat di dalam urusan ibadah dan ada yang mengatakan bid'ah ada yang hasan, dan semuanya mengemukakan alasan atau dasarnya.

Yang masih menjadi pertanyaan saya bid'ah dalam ibadah, bukankah apabila kita bekerja kalau diniatkan karena mendapatkan ridho dari Allah juga d catat sebagai amal ibadah, atau dalam berkhutbah Rasullulah selalu menggunakan bahasa Arab, bagaimana dengan di luar Arab? Mohon penjelasan.
Syukron

Jawaban :
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama memang berbeda pendapat ketika mendefinisikan bid'ah. Definisi yang disodorkan oleh para ulama tentang isitlah ini ada sekian banyak versi.

Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid'ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis perbuatan yang baru atau diada-adakan, sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.

Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqih) jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Ke-Islaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid'ah.

Pertama, kecenderungan yang menganggap bahwa ibadah yang tidak terdapat di masa Rasulullah SAW sebagai bid'ah, namun hukumnya tidak selalu sesat atau haram.

Kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat.
Tapi kalau kita tarik garis umum, paling tidak ada dua kecenderungan ulama dalam masalah ini.

Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid'ah itu mengatakan bahwa bid'ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.

a. Tokoh
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi'i dan pengikutnya seperti Al-'Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah.

Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani.
Dari kalangan Hanafiyah seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.

Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid'ah wajib, bid'ah haram, bid'ah mandub (sunnah), bid'ah makruh dan bid'ah mubah.

b. Contoh
Ada beberapa contoh yang bisa ditampilkan dalam masalah ini, antara lain:
Contoh bid'ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya.
Contoh bid'ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij.
Contoh bid'ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid.
Contoh bid'ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid'ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid'ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut:
Perkataan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu:

Sebaik-baik bid'ah adalah hal ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha' berjamaah di masjid sebagai bid'ah yaitu jenis bid'ah hasanah atau bid'ah yang baik.
Hadits-hadits yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah seperti hadits berikut:
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi'ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.

Kelompok Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid'ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Di antara mereka ada yang mendifiniskan bid'ah itu sebagai sebuah jalan (thariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai thariqah syar'iyah.

a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi'iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.

b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
Perbuatan seperti itu bid'ah, karena pada hakikatnya menciptakan sebuah ritual agama yang baru, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Allah SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap di antaranya adalah fiman Allah SWT:
... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah: 3)
Juga ayat berikut:
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An`am: 153)
Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid'ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut:

Klasifikasi Lain
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua:

a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)

b. Bid’ah dalam agama, mengada-ada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asal dalam beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil).
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak” (HR Muslim 1817)
Namun dalam kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian:

Pertama: Bid’ah Perkataan
Bid'ah ini berkaitan dengan masalah I’tiqod, seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.

Kedua: Bid’ah dalam beribadah
Bid'ah ini misalnya melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan, dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu
Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya di luar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Allah dan rasul-Nya.
Kesimpulannya, kalau kita lihat banyak kalangan saling menuduh bid'ah kepada saudaranya sendiri, ketahuilah bahwa salah satu penyebabnya adalah kekurang-pahaman terhadap definisi bid'ah yang beragam.

Dan urusan vonis memvonis sebagai pelaku bid'ah ini akan sedikit berkurang seandainya di dalam diri tiap kita muncul kearifan serta keluasan wawasan. Setidaknya, kalau pun tetap diyakini sebagai bid'ah, maka cara yang digunakan untuk memberantas 'bid'ah' itu tidak boleh dengan cara yang bid'ah juga.

Saling mencaci dan memaki, apalagi sampai melakukan pemboikotan kepada saudara sendiri, tentu sangat bertentangan dengan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Mana pernah beliau SAW memaki orang lantaran dianggap sebagai pelaku bid'ah? Mana pernah beliau memboikot seseorang lantaran dituduh-tuduh sebagai pelaku bid'ah? Dan mana pernah Rasulullah SAW mengharamkan diri untuk menshalati jenazah seseorang karena dianggap pelaku bid'ah?

Yang haram dishalati di masa nabi SAW adalah orang yang kafir dan murtad. Bukan orang yang dituduh-tuduh sebagai pelaku bid'ah, dengan tolok ukur yang subjektif dan seenak selera sendiri.

Semoga Allah SWT menurukan ilmu, kearifan dan kesantunan pada diri kita semua dalam memperjuangkan syariatnya. Amien

Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Selasa, 27 Agustus 2013

GAMBARAN AZAB NERAKA MENURUT ALQURAN

GAMBARAN AZAB NERAKA MENURUT ALQURAN

firman Allah Ta’ala: ﻫَﺬَﺍﻥِ ﺧَﺼْﻤَﺎﻥِ ﺍﺧْﺘَﺼَﻤُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺭَﺑِّﻬِﻢْ ﻓَﺎﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻗُﻄِّﻌَﺖْ ﻟَﻬُﻢْ ﺛِﻴَﺎﺏٌ ﻣِﻦْ ﻧَﺎﺭٍ ﻳُﺼَﺐُّ ﻣِﻦْ ﻓَﻮْﻕِ ﺭُﺀُﻭﺳِﻬِﻢُ ﺍﻟْﺤَﻤِﻴﻢُ “Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.” (QS. Al-Hajj: 19) Para penghuni neraka akan dikenakan untuk mereka pakaian dari aspal yang lalu dibakar dengan api neraka . Tidak cukup itu saja, al-hamim (air yang sedang mendidih dan sangat panas) akan disiramkan ke atas kepala mereka, kita berlindung kepada Allah dari menjadi ahli neraka! Bayangkan, kalau saja kita diletakkan pada satu tempat, lalu dari atas turun setetes demi setetes air dalam jangka waktu tertentu, sehari, seminggu, sebulan. Setiap detik air menetes dan mengenai kepala kita. Apa yang akan terjadi? Kita akan tersiksa dengan sendirinya dan bisa menjadi gila, lalu bagimana kalau yang disiramkan itu adalah air mendidih neraka yang panasnya berlipat-lipat dari panasnya api dunia. Kemudian Allah melanjutkan, ﻳُﺼْﻬَﺮُ ﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺑُﻄُﻮﻧِﻬِﻢْ ﻭَﺍﻟْﺠُﻠُﻮﺩُ “Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka danbjuga kulit (mereka).” (QS. Al-Hajj: 20) betapa dahsyatnya panas air tersebut. Saat disiramkan di atas kepala, maka air tersebut akan menghancurkan isi perut, daging, lemak, dan ususnya. Yakni isi perutnya meleleh karena panasnya air neraka yang mendidih tersebut. Sehinggapun kulit mereka juga meleleh. Kita memohon keselamatan kepada Allah dari beratnya siksa neraka. Selanjutnya Allah berfirman, ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻣَﻘَﺎﻣِﻊُ ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳﺪٍ “Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi.” (QS. Al-Hajj: 21) Maqami’ itu semacam palu atau martil dari besi yang dipukulkan ke kepala mereka. Maka ketika mereka hendak keluar dari neraka, dipukulkan martil-martil tersebut di atas kepala mereka supaya siksa tidak terputus dari mereka. “Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan): "Rasailah adzab yang membakar ini".” (QS. Al-Hajj: 22) Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ﻛَﻤَﻦْ ﻫُﻮَ ﺧَﺎﻟِﺪٌ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﺳُﻘُﻮﺍ ﻣَﺎﺀً ﺣَﻤِﻴﻤًﺎ ﻓَﻘَﻄَّﻊَ ﺃَﻣْﻌَﺎﺀَﻫُﻢْ “Sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad: 15) ya benar, mereka dipaksa meminum air neraka yang sedang mendidih dan sangat panas menghancurkan. Jadi tidak cukup hanya disiramkan ke atas kepala mereka, namun al-hamim (air neraka yang sedang mendidih dan sangat panas) tersebut diminumkan kepada mereka sehingga usus-usus mereka terpotong-potong, tercabik-cabik dan hancur berantakan. Ya Allah, jauhkan kami dari siksa neraka! Allah Ta’ala menyebutkan tentang angan-angan para penghuni neraka, yaitu kematian. Mereka ingin sekali mati sehingga tidak merasakan adzab neraka yang maha dashsyat. Hal ini sebanding dengan angan-angan mereka di dunia, yaitu mereka berangan dan berhayal dapat hidup seribu tahun atau lebih. Mereka sangat cinta kepada kehidupan dunia. Sedangkan di akhriat mereka sangat-sangat berharap bisa mati. Kita berlindung kepada Allah dari menjadi bagian orang-orang kafir. ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻧَﺎﺭُ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﻟَﺎ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻓَﻴَﻤُﻮﺗُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺨَﻔَّﻒُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺑِﻬَﺎ “Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya.” (QS. Faathir: 36) Yakni, dia tidak mati dan tidak akan diringankan adzabnya. Berbeda dengan siksa manusia di dunia, berapa tahun dan seberapa hebat mereka menyiksa sesama manusia? Penyiksanya bisa bertaham menyiksa paling hanya satu atau dua jam secara berturut-turut lalu istirahat. Pun dia masih butuh makan, minum, buang air dan kebutuhan lainnya sehingga siksa akan berkurang atau dihentikan sementara. Dan ujung dari siksaannya adalah kematian. Sedangkan di neraka, adzab tidak akan dihentikan barang sejenak, karena yang menyiksa adalah para malaikat yang sudah Allah bekali dengan kekuatan luar bisa dan sangat menyeramkan. Mereka tidak mengenal lelah atau capek sehingga tidak ada istirahat dari siksa bagi penghuni neraka. Setiap detik, setiap menit dan setiap jam penghuni neraka disiksa tanpa henti dan mereka tidak bisa mati. “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (QS. Al-Nisa’: 56) nauzubillah... Rasulullah SAW bersabda: "Api neraka telah dinyalakan selama seribu tahun sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun sehingga putih, kemudian dilanjutkan seribu tahun sehingga gelap bagaikan malam yang kelam." Sesungguhnya panasnya api nerakavJahannam tidak tertandingi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan, panasnya lebih dari 70 kali dari panasnya api dunia yang paling panas. aka sangat jelas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setiap hari, pada pagi dan sore hari, senantiasa berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Alaa dari neraka. Beliau (Rasulullah SAW) selalu membaca, ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﻭَﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﻣِﻦْ ﻓِﺘْﻨَﺔِ ﺍﻟْﻤَﺤْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﻤَﻤَﺎﺕِ ﻭَﻣِﻦْ ﻓِﺘْﻨَﺔِ ﺍﻟْﻤَﺴِﻴﺢِ ﺍﻟﺪَّﺟَّﺎﻝِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dar siksa kubur dan siksa neraka, dari fitnah hidup dan fitnah mati serta dari fitnah al-Masih Dajjal.” (HR. Bukhari dan Muslim) Bahkan mengingat neraka tidak luput dari Beliau sampai saat sebelum tidur. Ya sampai sebelum tidur. Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila beranjak tidur maka beliau meletakkan telapak tangan kanan beliau di bawah pipi kanan, lalu berdoa: ﺭَﺏِّ ﻗِﻨِﻲ ﻋَﺬَﺍﺑَﻚَ ﻳَﻮْﻡَ ﺗَﺒْﻌَﺚُ ﻋِﺒَﺎﺩَﻙَ “Ya Rabb-ku, selamatkan aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (HR. Al-Tirmidzi dan Ahmad) semoga kita bisa mengambil sedikit pelajaran dr sini untuk selalu berlomba dalam kebaikan serta mengikuti ajran serta perintah2-Nya agar terhindar dari azab neraka. amin Allahuma amin..

Senin, 26 Agustus 2013

REZEKI GAK KEMANA, ADA SAMA ALLAH

REZEKI GAK KEMANA, ADA SAMA ALLAH

Seorang sopir angkot, mikrolet. Sudah sehari penuh ia berkeliling kota mencari penumpang. Dari satu terminal ke terminal lain yang jaraknya lebih dari 5 km itu penumpangnya yang nyangkut tidak lebih dari satu dua orang. Ia mengeluh karena bahan bakarnya makin susut, sementara uang setoran juga belum ia dapatkan. Setengah furstasi, ia memutuskan untuk menghentikan kendaraanya di tengah perjalanan.

Tanpa disangkanya sama sekali serombongan orang mendekatinya dan bermaksud mencarter menuju ke suatu tempat. Sesampai di sana, sekumpulan orang yang sama telah menunggunya dengan sedikit berceloteh. "Kenapa sih bang, kok lama sekali," kata salah seorang di antara mereka yang telah merasa penat menunggu angkutan yang juga tak kunjung muncul. Pak sopir masih belum bisa menjawab selain dengan untaian senyum demi senyum. Rasa lelah yang membalut seluruh persendiannya seperti sirna seketika.

Itulah rezeki. Kedatangan dan kepergiannya sering sulit sekali untuk dipahami. Ketika datang ia mengalir begitu deras laksana air bah yang datang melimpah. Membendungnya bahkan terasa sulit. Bergerak sedikit saja, dengan melakukan pekerjaan yang tidak berbilang memakan banyak energi dan pikiran, semuanya serba menghasilkan uang. Ibarat orang berjalan, baru bergerak sedikit ke depan keuntungan didapatkan, bergeser sedikit ke kanan laba sudah menunggu. Begitu pula ketika menoleh ke kiri di sana yang ada rezeki melulu.

Sebaliknya, bila Allah menghendaki menutup kran rezeki itu, meskipun kerja keras sudah kita lakukan sedemikian rupa, badan terasa pegal semua, otot-otot menjadi linu, tulang-tulang terasa ngilu dan otakpun sangat amat lelahnya, rezeki yang ditunggu-tunggu mengalir hanya satu dua saja. Tidak cuma itu. Allah juga masih menguji dengan tambahan ujian yang lain dengan sakitnya keluarga, kehilangan, dan bentuk musibah lainnya.

Nabi menghapuskan semua pikiran yang menganggap hina terhadap orang yang bekerja. Bahkan beliau sangat menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk bekerja apa saja agar dirinya tidak menggantungkan keperluannya kepada orang lain. Pesan Nabi justru agar kita tidak menjadi rendah diri dengan jalan berusaha. Agar kita punya martabat.

"Sesungguhnya seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang diminta memberi atau menolaknya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Banyak ragam jenis pekerjaan di dunia ini. Manusia tinggal memilih dan melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Berdagang, menjadi pegawai ataupun karyawan bukanlah pekerjaan hina, selama pekerjaan tersebut tidak dipenuhi dengan cara yang haram, membantu perbuatan haram, atau bersekutu dengan haram. Bercocok tanam juga pekerjaan mulia. Sembari menunggu keuntungan kita bahkan dapat bersedekah, seperti yang disampaikan Rasulullah, "Tidak seorang muslimpun yang menanam tanaman atau menaburkan benih, kemudian dimakan oleh burung atau manusia, melainkan dia itu baginya merupakan sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pasalnya, jika besok tidak ada beras yang dimasak, maka tiga belas anak yayasan yang kami asuh terancam bakal tidak makan. Itu berarti, mereka akan berangkat sekolah dengan perut kosong.

“Umi tenang saja, ya. Meski beras sudah tidak ada, tapi kita masih punya satu malam untuk shalat tahajud dan meminta kepada Allah,” kataku menenangkan dengan penuh kenyakinan.

“Iya abi, umi yakin. Semoga saja Allah yang Maha Pemberi rezeki berkenan membantu kita,” harapnya meski kekalutan masih tergambar di wajahnya.

Malam harinya, pukul 2.30 dini hari saya dan istri bangun. Sekitar sepuluh menit berwudhu dan memakai pakaian shalat. Setelah itu membangunkan anak-anak yang sedang tidur pulas. Cukup sulit juga membuat mata mereka melek. Meski sudah dipukul pelan dengan sajadah dan kata-kata “Shalatul lail” berulang kali, tetap saja mereka tidak bangun-bangun.

Parahnya lagi, bila ada yang sudah bangun, tak jarang yang tidur lagi. Cukup lama memang agar mau membuka mata mereka melek dan langsung mengambil air wudhu. Mungkin karena masih kecil-kecil jadi sulit dibangunkan. Tapi, setelah sekitar 15 menit dan beberapa kali dibangunkan, akhirnya mereka pun semua bangun.

Jumat, 23 Agustus 2013

Cinta dalam islam

Cinta dalam islam

Ya Allah Engkau tahu
Hati-hati ini telah Berkumpul dalam cinta-Mu
Bertemu dalam taat-Mu
Menyatu menolong dakwah-Mu
Berjanji perjuangkan syariat-Mu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya

Tidak ada penjelasan historis tentang suasana yang melatari Imam Syahid Hasan Al Banna saat menulis potongan doa itu. Ia menyebutnya Wirid Pengikat. Pengikat hati. Hati yang sedang dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit. Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat. Landasannya adalah iman. Pengikatnya adalah cinta.

Cinta menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka adalah permadani sutera yang empuk, setiap orang dengan tipenya bisa duduk santai di situ. Cinta mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. Cinta melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?

Tapi cinta juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban Perbedaan diantara mereka tidak akan mengubah situasi mereka, seperti kata Iqbal, sebagai sapu lidi yang diikat cinta untuk membersihkan kehidupan.

Tapi cinta juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw: “Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku.” Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari memikul beban? Dan cintalah sumbernya.

Energi cinta memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat.Tapi ikatan cinta mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat. Nyaman. Dan abadi. Jadi biarkan Sang Imam mengumumkan kembali cintanya: Maka eratkan ikatannya. Dan abadikan cintanya?

Selasa, 20 Agustus 2013

Umur 25 Nabi - Alaihimus Salam - Dan Letak Makam Mereka

Umur 25 Nabi -'Alaihimus Salam- Dan Letak Makam Mereka

1. Nabi Adam ‘Alaihis Salam
Umur : 1000 tahun
Makam : India, menurut satu pendapat ada di Makkah, dan menurut pendapat lain ada di Baitul Maqdis

2. Nabi Idris ‘Alaihis Salam
Umur : 865 tahun
Makam : (tidak ada informasi)

3. Nabi Nuh ‘Alaihis Salam
Umur : 950 tahun
Makam : Masjid Kufah, , menurut satu pendapat ada di al-Jabal al-Ahmar (Gunung Merah), dan menurut pendapat lain ada di dalam al-Masjid al-Haram Makkah.

4. Nabi Hud ‘Alaihis Salam
Umur : 464 tahun
Makam : di Timurnya Hadharamaut, Yaman.

5. Nabi Shalih ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan masa hidupnya.
Makam : di Hadharamaut

6. Nabi Luth ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan masa hidupnya.
Makam : Shou’ar

7. Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam
Umur : 200 tahun
Kelahiran : Lahir pada 1273 tahun setelah peristiwa banjir dan topan pada masa Nabi Nuh ‘Alaihis Salam.
Makam : di kota al-Khalil (Palestina), dimakamkan bersama Sarah (isteri pertamanya).

8. Isma’il ‘Alaihis Salam
Umur : 137 tahun
Makam : dimakamkan di samping Ibunda (yakni Hajar) di Makkah (di sekitar Ka’bah dekat Maqam Ibrahim)

9. Nabi Ishaq ‘Alaihis Salam
Umur : 180 tahun
Makam : dimakamkan bersama Ayahanda (yakni Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam) di kota al-Khalil (Palestina).

10. Nabi Ya’qub ‘Alaihis Salam
Umur : 137 tahun
Wafat : di Mesir
Makam : untuk memenuhi wasiatnya, oleh sang putra (Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam), jenazahnya dipindah dimakamkan ke kota al-Khalil (Palestina)

11. Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam
Umur : 110 tahun
Wafat : di Mesir
Makam : oleh saudara-saudaranya (untuk memenuhi wasiatnya) jenazahnya kemudian dipindah dimakamkan di Nablus (Palestina)

12. Nabi Syu’ab ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan masa hidupnya.
Makam : di desa Hathin dekat kota Thabariyah (Syria)

13. Nabi Ayyub ‘Alaihis Salam
Umur : 93 tahun
Makam : di desa Syaikh Sa’d (dekat kota Damasykus) Syria.

14. Nabi Dzul Kifli ‘Alaihis Salam
Umur : (tidak ada informasi)
Lahir : di Mesir
Makam : wafat di daerah gunung Thursina, menurut salah satu pendapat di samping Ayahanda di salah satu kota di Syam.

15. Nabi Yunus ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan masa hidupnya.
Makam : tidak ada informasi sama sekali tentang letak makamnya.

16. Nabi Musa ‘Alaihis Salam
Umur : 120 tahun
Makam : wafat di daerah gunung Thursina dan di makamkan di sana.

17. Nabi Harun ‘Alaihis Salam
Umur : 122 tahun
Makam : wafat di daerah gunung Thursina dan di makamkan di sana.

18. Nabi Ilyas ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan masa hidupnya.
Lahir : dilahirkan setelah masuknya Bani Isra’il ke Palestina.
Makam : menurut satu pendapat ada di Ba’labak (Lebanon). (Tapi menurut satu pendapat, beliau belum wafat sampai sekarang –penerjemah)

19. Nabi Ilyasa’ ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan tempat tinggalnya dan daerah yang dituju setelah kaumnya ingkar di kota Banyas.

20. Nabi Dawud ‘Alaihis Salam
Umur : 100 tahun
Kerajaan : bertahan sampai 40 tahun

21. Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam
Kerajaan : beliau mewarisi kerajaan Ayahanda (yakni Nabi Dawud ‘Alaihis Salam) ketika umur 12 tahun, kerajaannya bertahan sampai 40 tahun.

22. Nabi Zakariya ‘Alaihis Salam
Wafat : beliau dibunuh dengan cara digergaji oleh orang yang telah menyembelih sang putra (Nabi Yahya ‘Alaihis Salam)

23. Nabi Yahya ‘Alaihis Salam
Umur : Tidak ada kitab yang menjelaskan masa hidupnya.
Lahir : pada tahun yang sama dengan tahun kelahiran Nabi ’Isa al-Masih ‘Alaihis Salam.
Wafat : ketika beliau sedang di Mihrab, disembelih oleh sesorang yang disuruh oleh seorang wanita jahat dari pihak raja yang zhalim.
Makam : kepalanya dimakamkan di Masjid al-Jami’ al-Amawi (Damasykus-Syria)

24. Nabi ’Isa al-Masih ‘Alaihis Salam
Umur : 33 tahun di bumi, kemudian Allah mengangkatnya ke langit setelah tiga tahun diangkat menjadi Nabi. Dituturkan, bahwa Ibunda (yakni Maryam) hidup 6 tahun setelah ’Isa al-Masih ‘Alaihis Salam diangkat ke langit. Maryam wafat dalam umur 53 tahun.

25. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Lahir : di Makkah tahun 570 M.
Wafat : umur 63 tahun
Makam : di rumah ’Aisyah di Masjid Nabawi Madinah dan dimakamkan di sana.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Keutamaan Bulan Muharram


Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram termasuk bulan yang istimewa. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah dan rasul-Nya memuliakan bulan Muharram, di antaranya adalah:

1. Termasuk Empat Bulan Haram (suci)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus...” (QS. At-Taubah: 36)

 Keterangan:

a. Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.

b. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.

c. Az-Zuhri mengatakan:

“Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).

 2. Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)

Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

 Keterangan:

 a. Imam An Nawawi mengatakan, “Hadist ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)

b. As-Suyuthi mengatakan, Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252)

c. Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini.

4. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan:

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Bukhari)

5. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan.

Hasan Al-Bashri mengatakan,

Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)

Allahu a’lam

Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram:

1. Memperbanyak puasa selama bulan Muharram

 Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

 Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)

Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).Maksudnya dosa-dosa kecil. wallahu'alam...

 Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Bukhari)

 Keterangan:

 Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.”

Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadhan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radhiallahu ‘anha mengatakan:

“Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadhan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa”. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

 Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

 Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadits:

 “Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Al Bazzar).

 Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadits ini juga dikuatkan hadits lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:

“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”

Dengan menggunakan kata hubung “dan” sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung “atau”.

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadits di atas:

Hadits ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadits ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadits no. 2225)

Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadits ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.

 Imam Ahmad mengatakan:

Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).

 Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadits yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

 Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:

1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.

2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits.

3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.

(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

 Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.

 Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:

Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.

 Beliau menjawab:

 Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram.


Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)

Demikian seputar keutamaan dan amalan-amalan di bulan Muharam menurut sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, semoga kita dapat mengamalkannya tanpa mengada-adakan amalan lain yang tidak jelas tuntunannya. Aamiin…


Billahi taufiq wal hidayah..

Semoga Bermanfaat

Rabu, 14 Agustus 2013

HUKUM MENGGERAKKAN TELUNJUK SAAT TASYAHUD

HUKUM MENGGERAKKAN TELUNJUK SAAT TASYAHUD
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sahabat Hikmah...
Permasalahan satu ini sering jadi perdebatan di kalangan para ikhwah. Apakah dalam tasyahud mesti menggerakkan jari telunjuk, atau jarinya dalam keadaan diam saja. Untuk masalah yang satu ini, kami cuma menukil penjelasan dari salah seorang ulama saja tentang status hadits menggerak-gerakkan jari. Kami tidak sampai berpanjang lebar dalam membahas hal ini karena ternyata di dunia maya juga sudah dibahas oleh ustadz lainnya. Sehingga kami cukupkan dengan penjelasan singkat dari ulama Mesir, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah dalam kitab beliau Syarh ‘Ilalil Hadits. Semoga bermanfaat.

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi berkata,


Mengenai ziyadah (tambahan) lafazh “yuharrikuhaa” (يحركها) yaitu pada hadits yang membicarakan isyarat dengan telunjuk ketika tasyahud, hadits tersebut diriwayatkan dalam beberapa kitab. Sumbernya adalah dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya. Dari Wail bin Hujr, ia berkata,

"Aku katakan, "Sungguh, aku memperhatikan shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bagaimana beliau melakukan shalat." Ia berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu bertakbir, lalu ia mengangkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinga, dan meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya."

Kemudian saat akan ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya seperti itu juga. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya dengan posisi berada di depannya. Kemudian setelah itu beliau duduk iftirosy (menduduki kakinya yang kiri). Lantas ketika itu beliau letakkan tangan kirinya di atas paha kirinya, sedangkan siku kanannya diletakkan di atas paha kanannya. Beliau menggenggam dua jarinya dan membuat lingkaran. Aku melihatnya berkata seperti itu. Yaitu beliau membentuk lingkaran dengan jari jempol dan jari tengah (menurut salah satu riwayat). Lalu beliau berisyarat dengan jari telunjuk.


Perkataan kita sekarang adalah pada lafazh “asyaro bis-sabaabah”, artinya beliau berisyarat dengan jari telunjuk. Mayoritas perowi meriwayatkan hadits seperti itu, yaitu dikatakan “beliau berisyarat dengan jari telunjuk”. Sebagian perowi berkata lagi, “Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan berdoa dengannya.”

Adapun Zaidah bin Qudamah, beliau meriwayatkan hadits dengan lafazh, “Kemudian beliau mengangkat jarinya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkan jarinya lantas beliau berdoa dengannya.” Zaidah rahimahullah bersendirian dalam meriwayatkan hal ini berbeda dengan perowi yang lain. Bedanya beliau adalah karena adanya tambahan lafazh “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya.

Zaidah bin Qudamah itu tsiqoh (kredibel) dan orang yang mulia, semoga Allah merahmati beliau. Beliau juga dipandang sebagai orang yang tsiqoh (kredibel) dan muthqin (kokoh hafalannya). Akan tetapi, mayoritas perowi tidak menyebutkan sebagaimana yang disebutkan oleh Zaidah. Sehingga dari sini kita diamkan tambahan yang dibuat oleh Zaidah yaitu tambahan “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya. Berikut adalah tabel sebagai penjelas yang kami maksudkan. Wabillahit taufiq.


Sebagaimana yang Anda lihat, Zaidah hanya bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “yuharrikuha” (beliau menggerak-gerakkan jarinya).

Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, “Tidak ada dalam satu riwayat yang menyebutkan “yuharrikuha” kecuali dari riwayat Zaidah di mana beliau (bersendirian) menyebutkannya.”



Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Boleh jadi yang dimaksud dengan yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari) adalah hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair. Wallahu a’lam.”

Syaikh Mushthofa Al ‘Adawi berkata, “Riwayat Ibnu Az Zubair yang dikeluarkan oleh Muslim hanya menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berisyarat saja dan tidak disebutkan menggerak-gerakkan jari. [1]
***

Pembahasan secara lengkap tentang hal ini telah dibahas oleh Al Ustadz Abu Muawiyah hafizhohullah, yang dinukil dari Majalah An Nashihah. Silakan lihat disini: (http://al-atsariyyah.com/menggerakkan-telunjuk-saat-tasyahhud.html) Sekali lagi ini adalah masalah khilafiyah, jadi kami pun menghargai pendapat lainnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pegang berdasarkan penelitian dari hadits-hadits yang ada sesuai dengan keterbatasan ilmu yang ada pada kami.

Catatan yang perlu diperhatikan, tidaklah usah merasa aneh jika ada yang tidak menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud. Sebagaimana tidak perlu merasa aneh jika ada yang menggerak-gerakkan jari karena sebagian ulama berpendapat seperti ini. Namun sebaik-baik pendapat yang diikuti adalah yang berpegang pada pendapat yang kuat. Jika yakin bahwa hadits menggerak-gerakkan jari itu lemah karena menyelisihi banyak perowi yang lebih tsiqoh, maka sudah sepatutnya yang diikuti adalah yang yakin yaitu tidak menggerak-gerakkan jari. Namun ingat, tetaplah tolelir dengan pendapat lainnya karena masalah ini masih dalam tataran khilafiyah (silang pendapat antara para ulama). Wallahu a’lam bish showab.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

By: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com

[1] Syarh ‘Ilalil Hadits, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, 168-170

Selasa, 13 Agustus 2013

Hutang Dalam Islam

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke neraka.
Islam memuji pedagang yang menjual barang kepada orang yang tidak mampu membayar tunai, lalu memberi tempo, membolehkan pembelinya berutang. Islam menjanjikan pedagang itu berpotensi masuk surga, sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Bahwasanya ada seseorang yang meninggal dunia lalu dia masuk surga, dan ditanyakanlah kepadanya, ‘amal apakah yang dahulu kamu kerjakan?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya dahulu saya berjualan. Saya memberi tempo (berutang) kepada orang yang dalam kesulitan, dan saya memaafkan terhadap mata uang atau uang.” (HR. Muslim)
Menurut ulama pensyarah hadits, kata-kata “memaafkan terhadap mata uang atau uang” di situ adalah, bahwa yang bersangkutan memberikan kemurahan kepada pengutang dalam membayar utangnya. Bila terdapat sedikit kekurangan pembayaran dari yang semestinya, kekurangan itu di abaikan dengan hati lapang.

Keutamaan/fadhilah bagi pemberi utang:
Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi)
Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah). Contohnya, si Fulan meminjam uang sebesar Rp. 1.000 kepada Fulanah. Fulanah akan mengembalikan uang tersebut dalam tempo 10 hari. Maka selama sepuluh hari itu si Fulan mendapatkan pahala shadaqah Rp. 1.000 setiap harinya.
Dua kali memberikan pinjaman, sama derajatnya dengan sekali bershadaqah. (HR. Bukhari, Muslim, Thabrani, Baihaqi).
Menghindari Utang
Sebaliknya, Islam menyuruh pembeli menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai. Karena utang, menurut Rasulullah SAW, penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, kata Rasulullah, “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah sesorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Sabda Rasulullah, “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim).
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka ? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

Adab Umum
Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)
Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).
Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).
Adab untuk pemberi utang
Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad)
Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).
Adab bagi pengutang
Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari, Muslim)
Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu Dawud).
Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi)
Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad).
Bila ada orang yang masuk surga karena piutang, kelak akan ada juga orang yang kehabisan amal baik dan akan masuk neraka karena lalai membayar utang. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa (yang berutang) di dalam hatinya tidak ada niat untuk membayar utangnya, maka pahala kebaikannya akan dialihkan kepada yang memberi piutang. Jika masih belum terpenuhi, maka dosa-dosa yang memberi utang akan dialihkan kepada orang yang berutang.” (HR. Baihaqi, Thabrani, Hakim).

BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)

[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah .
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.(7)

[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
Dari Abu Hurairah , ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. Maka Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.

[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah , ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?

[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.

[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi :
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.

[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
Dari Samurah , Nabi bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)

[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah .)

[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah bersabda:
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)

قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

Mungkin dengan membaca ini aku akan belajar lebih ikhlas lagi,,,

Catatan Kaki:
(1) Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili.
(2) Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
(3) HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
(4) HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
(5) Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316.
(6) Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147.
(7) Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51.
[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 12 Volume 1 / 15 November 2010]
http://abufawaz.wordpress.com/2011/06/27/-keutamaan-dan-bahaya-hutang-piutang-menurut/

(Ali Athwa/SHW) – Majalah Suara Hidayatullah edisi 10/XV/Dzulqa’dah-Dzulhijjah 1423.

Hak Suami yang Wajib Ditunaikan Istrinya

 Hak Suami yang Wajib Ditunaikan Istrinya

Hak suami atas istri termasuk salah satu hak yang paling agung untuk ditunaikan oleh seorang wanita. Bahkan haknya suami atas istrinya lebih besar daripada haknya istri atas suaminya. Hal berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya." (QS. Al-Baqarah: 228)

Al-Jashash berkata: Allah Ta'ala mengabarkan dalam ayat ini, setiap pasangan suami istri memiliki hak atas pasangannya. Dan bahwasanya suami diistimewakan dangan hak atas istrinya yang tak dimiliki istrinya atas dirinya."

Di antara hak-hak tersebut:

1) Kewajiban taat kepada suami.

Karena ijab-qabul dari ayahnya (walinya), Allah telah jadikan para suami sebagai pemimpin atas istrinya. Ia wajib mengatur, mengarahkan dan mengurusi istrinya sebagaimana seorang ayah yang mengurusi anaknya. Allah Ta'ala berfirman,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. Al-Nisa': 34)

2) Siap melayani suaminya dalam urusan ranjang saat ia memintanya.

Ini termasuk hak suami atas istrinya setelah suami menyerahkan mahar dari perkawinannya. Maka jika seorang istri menolak untuk melayani suaminya maka ia telah melakukan dosa besar, kecuali ia memiliki udzur syar'i seperti haid, puasa wajib, sakit dan semisalnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya (untuk berjima'), lalu ia menolak sehingga suaminya di malam itu murka kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi." (Muttafaq 'Alaih)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Saat Mu'adz tiba dari Syam, ia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau berkata: "Apa ini wahai Mu'adz?"

Mu'adz menjawab, "Aku telah datang ke Syam, aku temui mereka bersujud kepada para pemimpin dan penguasa mereka. Lalu aku berniat dalam hatiku melakukan itu kepada Anda."

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Jangan lakukan itu, kalau saja aku (boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada selain Allah, pastilah aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang istri disebut telah menunaikan hak Rabb-nya sehingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk melayaninya sementara ia berada di atas pelana unta, maka hal itu tidak boleh menghalanginya." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Maknanya: hadits tersebut memerintahkan kepada para istri untuk mentaati dan siap melayani suaminya. Tidak boleh ia menolak ajakan suami walau ia sudah siap melakukan perjalanan, yakni sudah berada di atas pelana untanya, maka hal ini lebih ditekankan saat ia berada dalam keadaan selain itu.

3) Tidak mengizinkan masuk ke rumahnya orang yang tidak disuka suaminya.

Di antara hak suami yang harus ditunaikan istrinya, janganlah ia membawa masuk ke dalam rumahnya orang yang dibenci suaminya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ

"Tidak boleh (haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali dengan izinnya. Istri juga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan perintahnya, maka setengah pahalanya diberikan untuk suaminya." (HR. Al-Bukhari)

4) Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami.

Syafi'iyah dan Hanabilah berkata, "Ia (istri) tidak boleh keluar untuk menjenguk ayahnya yang sakit kecuali dengan izin suaminya. Ia punya hak untuk melarang istrinya dari hal itu; karena ketaatan kepada suami adalah wajib, maka tidak boleh meninggalkan perkara wajib dengan sesuatu yang tidak wajib."

. . . Ia (istri) tidak boleh keluar untuk menjenguk ayahnya yang sakit kecuali dengan izin suaminya. Ia punya hak untuk melarang istrinya dari hal itu . . .

5) Suami memiliki hak mendisiplinkan istrinya saat ia tidak patuh kepada perintahnya dengan cara yang baik, bukan dengan maksiat.

Sebabnya, Allah Ta'ala telah memerintahkan mendisiplinkan wanita dengan hajr (menjauhkan dari tempat tidurnya) dan memukul saat tidak mau taat.

Hanafiyah menyebutkan 4 tempat dibolehkannya suami memukul istrinya dalam rangka mendisiplinkannya, di antaranya: Pertama, tidak mau berhias apabila ia menghendaki istrinya berhias. Kedua, tidak mau menyambut ajakan suami ketika mengajaknya ke ranjangnya padahal dalam keadaan suci. Ketiga, meninggalkan shalat. Keempat, keluar rumah tanpa seizinnya.

Beberapa dalil yang mendasari bolehnya mendisiplinkan wanita:

Firman Allah Ta'ala,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka." (QS. Al-Nisa': 34)

Firman Allah Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. Al-Tahrim: 6)

Imam Qatadah berkata, "Engkau perintah mereka untuk taat kepada Allah, engkau larang mereka dari bermaksiat kepada Allah, engkau pimpin dan perintah mereka dengan perintah Allah, dan engkau bantu mereka menjalankannya. Jika engkau lihat kemaksiatan kepada Allah maka engkau cegah dan larang mereka darinya."

Serupa dengan itu, Al-Dhahak dan Muqatil berkata, "Kewajiban seorang muslim agar mengajarkan kepada keluarganya dari kerabatnya, budak wanita, dan budak laki-lakinya apa saja yang telah Allah fardhukan kepada mereka dan apa yang telah Dia larang dari mereka." (Lihat: Tafsir Ibni Katsir: 4/392)

6) Istri berkhidmat kepada suaminya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, bahwa seorang istri wajib membantu suaminya dengan cara yang ma'ruf. Ini sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Khidmatnya wanita kampung berbeda dengan wanita kota, khidmatnya wanita yang kuat berbeda dengan khidmatnya wanita yang lemah." (Al-Fatawa al-Kubra: 4/561)

. . . Kewajiban seorang muslim agar mengajarkan kepada keluarganya dari kerabatnya, budak wanita, dan budak laki-lakinya apa saja yang telah Allah fardhukan kepada mereka dan apa yang telah Dia larang dari mereka. . .

Penutup

Sesungguhnya pemenuhan hak suami oleh istri merupakan ladang kebaikan yang besar, Siapa wanita yang bisa menanaminya dengan sebanyak-banyak tanaman, maka ia akan memanen sebanyak-banyak buah manisnya. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda,

"Apabila wanita menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya; maka disampaikan kepadanya: masuklah surga dari pintu mana saja yang kamu mau." (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 660)

Diriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan, bahwa bibinya pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam karena satu keperluan. Saat sudah selesai, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya, "Apakah kamu punya suami?"

Ia menjawab, "Ya."

Beliau bertanya lagi, "Bagaimana sikapmu terhadapnya?"

Ia menjawab, "Aku tidak kurangi hak-nya kecuali apa yang aku tidak mampu."

Beliau bersabda, "Perhatikan sikapmu terhadapnya, karena ia surga dan nerakamu."

(HR. Ahmad dan Al-Hakim, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al;Targhib wa al-Tarhib, no. 1933)

Maksudnya, suamimu itu adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan hak-nya. dan suamimu itu menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal itu. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Copyright @ 2013 Belajar Sholat.