Pujian Yang Dibolehkan dan yang Tercela
Pujian yang tercela
Yang dimaksud dengan pujian yang tercela adalah pujian yang berlebihan dan pujian yang dapat menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri (‘ujub).
Dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa ada orang yang memuji temannya yang ada disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ويلك قطعت عنق صا حبك, قطعت عنق صا حبك
“Celakalah engkau, kau telah menggorok leher saudaramu. Kau telah meggorok leher saudaramu!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya beberapa kali. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان منكم مادحا أخاه لا محالة فليقل: أحسب فلانا والله حسيبه ولا أزكي على الله أحسبه كذا وكذا إن كان يعلم ذلك منه
“Barang siapa yang terpaksa harus memuji saudaranya, maka katakanlah: ‘Aku kira si fulan demikian dan demikian, tetapi Allah-lah yang menilai (keadaan sebenarnya). Aku tidak mau menilai atas nama Allah (kepada seseorang) demikian dan demikian, jika memang kelebihan itu ada pada dirinya.”
[Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158) dan Muslim (IV/2297)]
“Janganlah engkau tertipu dengan pujian orang lain yang menghampirimu. Sesungguhnya mereka yang memuji tidaklah mengetahui dirimu sendiri kecuali yang nampak saja bagi mereka. Sedangkan engkau sendiri yang mengetahui isi hatimu."
“Barangsiapa yang begitu girang dengan pujian manusia, syaithon pun akan merasuk dalam hatinya.”
( Iqozhul Himam Syarh Matn Al Hikam, Ibnu ‘Ajibah, hal. 159, Mawqi’ Al Qaroq, Asy Syamilah)
"Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.”
(Qs. Al-Najm; 32)
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada orang yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أهلكتم أو قطعتم ظهر الرجل
“Kalian telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah membinasakannya).”
[Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158 dan Muslim (IV/2297)]
Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa makna hadits: ‘Taburkanlah debu ke muka orang yang memuji orang lain!’[1] adalah berlaku untuk orang yang memuji orang lain namun dengan cara yang berlebihan.[2]
Pujian yang dibolehkan
Tidak diragukan lagi bahwa memuji orang lain adalah termasuk penyakit lisan, jika menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri atau jika pujian tersebut dilakukan secara serampangan atau melampaui batas, yakni berlebih-lebihan. Namun, jika pujian itu tidak mengandung hal-hal tersebut di atas, maka hukumnya diperbolehkan.
Imam Bukhari rahimahullahu Ta’ala memberi judul untuk salah satu bab dalam kitab Shahih beliau: “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang Diketahui”. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak pernah kudengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini sebagai calon penghuni Surga kecuali hanya kepada ‘Abdullah bin Salam.”
[Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/87), lihat juga al-Fath (X/478)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melukiskan sifat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu sebagai berikut,
ما لقيك الشيطان سا لكا فجا إلا سلك فجا عير فجك
“Jika syaithan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui.” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/1864) dan al-Fath (X/479)]
Pujian yang diperbolehkan untuk diberikan kepada saudara kita adalah pujian yang tidak berlebihan dan orang yang dipuji tidak dikhawatirkan merasa bangga diri, maka pujian seperti ini diperbolehkan. Oleh karena itu, pujian dengan sesuatu yang sesuai fakta dan dengan sewajarnya sajalah yang diperbolehkan. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun dipuji dalam syair, khutbah, dan pembicaraan. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menaburkan debu ke muka orang yang memujinya dengan pujian yang wajar tersebut.[3]
Bagaimana menyikapi pujian ?
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani.
Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa:
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.
Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa:
“Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
Ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa:
“Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari)
Bagaimana cara memuji ?
Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw., yaitu di antaranya :
Pertama, Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
Kedua, Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)
Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. Dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إذا رأى أحدكم من أخيه مـا يعجبه, فليدع له بالبركة
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, maka hendaklah dia mendo’akannya agar diberikan keberkahan kepadanya.”
[Hadits shahih, riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (II/716 no.2), Ibnu Majah dalam Shahih-nya (II/265) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/447)]
Do’a mohon keberkahan saat mendapati (melihat) sesuatu yang menakjubkan dirinya pada saudaranya,
مـا شـا ء الله لا قوة إلا بـالله, أللـهـم بارك عليه
“Maasyaa Allaah (atas kehendak Allah), tidak ada kekuatan melainkan hanya dengan (pertolongan) Allah. Yaa Allah, berikanlah berkah padanya.”[4]
Imam Nawawi rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, banyak sekali hadits yang berisi pujian kepada seseorang. Berdasarkan hal itu, para ulama mengatakan bahwa cara mengkompromikan antara hadits-hadits yang kelihatan bertentangan itu adalah dengan memaknai larangan itu berlaku untuk pujian yang berlebihan, pujian yang ditambah-tambahi dengan kedustaan atau pujian yang dikhawatirkan akan muncul rasa bangga diri (ujub) di dalam diri orang yang dipuji. Namun, jika tidak dikhawatirkan akan terjadi hal demikian, maka diperbolehkan memuji meskipun dihadapan orang tersebut. Hal ini dikarenakan kesempurnaan ketakwaan, keteguhan akal dan kemantapan ilmu yang dimiliki oleh orang yang dipuji. Bahkan hukumnya menjadi sunnah apabila dengan pujian, maka dia akan termotivasi untuk senantiasa berbuat kebaikan, menambah amal kebaikan, dan memberikan teladan yang baik kepada orang lain.[5]
Allah lebih mengetahui akan hal ini.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2297).
Dari Hammam bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa ada seseorang yang memuji Utsman radhiyallahu ‘anhu. Miqdad lalu duduk berlutut. Al-Miqdad radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang bertubuh besar. Beliau pun akhirnya menaburkan batu kerikil kepada orang tadi. Utsman lalu berkata, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ al-Miqdad berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jikalau kalian melihat ada orang yang memuji orang lain maka taburkanlah debu ke mukanya.’
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menaburkan debu ke muka orang yang memuji dengan berlebihan.
[2] Fat-hul Baari (X/477).
[3] Idem.
[4] Ad-Du’aa’ wal ‘Ilaaj bir Ruqaa minal Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani, hal. 105.
[5] Syarah Imam Nawawi fii Shahih Muslim (XVIII/126), lihat juga Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani.
(Sumber: http://jalansunnah.wordpress.com/2010/09/28/pujian-antara-yang-tercela-dan-yang-dibolehkan/)
Selasa, 17 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar